Pilihan Tepat Penulis Hebat

Satu Berita Rp500.000, Mau?


Siapa pun bisa menjadi Citizen Journalist (CJ). Perkembangan teknologi memungkinkan setiap orang bisa melaporkan berita dengan cepat dan akurat.

Hanya dengan HP, Kamera Digital, dan Handy Cam, setiap orang bisa merekam dan memberitakan peristiwa-peristiwa luar biasa yang terkadang tak terjangkau oleh reporter media massa.

Hanya masalahnya, meski ke mana-mana membawa alat perekam, banyak orang masih enggan merekam peristiwa luar biasa yang kebetulan terjadi di dekatnya. Keengganan masyarakat merekam peristiwa, bisa jadi karena belum memahami manfaatnya.

Ada banyak manfaat merekam peristiwa, apalagi peristiwa itu sangat luar biasa seperti tsunami, gempa, banjir, dll. Salah satunya, bila rekaman tersebut ditayangkan TV bisa membangkitkan empati publik, sehingga masyarakat bisa cepat menolong masyarakat yang sedang tertimpa bencana, contoh terbaru peristiwa gempa Padang.

Rekaman peristiwa bisa membantu menegakkan kebenaran, karena bisa menjadi bukti-bukti yang mampu menyingkap tabir rahasia kejahatan besar. Contohnya, entah diakui tidak, rekaman berita turut membantu keberhasilan polisi dalam menumpas gembong-gembong teroris.

Rekaman peristiwa juga bisa menjadi media berbagi motivasi, sehingga kebaikan, keberhasilan, dan kegembiraan bisa ditularkan untuk memberi semangat dan inspirasi kepada masyarakat yang kehidupannya sedang dibelit masalah.

Intinya, dengan merekam dan menayangkan peristiwa di TV Anda turut andil dalam berbagi informasi, mendidik, dan menghibur masyarakat. Hasil akhir dari peran ini adalah harapan adanya masyarakat yang cerdas dan berhati mulia.

Rp500.000/berita

Ideal sekali..! Memang. Tetapi pasti ada keuntungan pragmatis yang didapat oleh para CJ? Kepuasan? Sudah pasti. Pahala? Biar malaikat dan Tuhan yang menentukan. CJ bisa mendapatkan keuntungan yang bersifat materi. CJ bisa mendapatkan penghasilan atau sejumlah uang bila video beritanya ditayangkan TV. Berapa?

Saya buka rahasianya. Selama aktif sebagai CJ lebih dari setahun, saya sudah mendapat uang jutaan rupiah dan cukup untuk membantu dapur ngebul. Caranya, saya aktif mengirimkan video berita ke acara I-Witness yang ditayangkan Metro TV.

Saya merekam peristiwa apa saja yang menurut saya menarik. Sekali lagi, peristiwa apa saja. Mulai dari hal yang remeh temeh hingga yang serius. Saya merasa di sekeliling saya banyak sekali hal-hal unik yang layak diberitakan.

Jadi, untuk mendapatkan berita saya tidak pernah mengharapkan terjadi bencana dan kecelakaan yang memakan banyak korban. Namun seandainya peristiwa tragis harus terjadi, saya pun siap untuk merekamnya.

Wajar akhirnya jika hingga kini saya belum pernah merekam peristiwa-peristiwa tragis. Seluruh video berita yang pernah saya kirimkan ke program I-Witness Metro TV berisi tentang humanism, persitiwa keseharian masyarakat tetapi menyentuh emosi dan memicu empati.

Contohnya, saat jalan-jalan ke pelabuhan Tasik Agung Rembang, Jawa Tengah, ada seorang remaja laki-laki sedang memandikan kapal. Bagi saya, aktivitas yang dilakukan remaja itu unik. Kapal di laut yang setiap hari berkubang di air ternyata masih tetap dimandikan. Apalagi orang yang tidak setiap hari berenang, seharusnya lebih rajin dong mandinya…he..he..he.

Peristiwa itu akhirnya aku rekam. Apapun yang dilakukan remaja itu saat memandikan kapal, saya rekam. Dari mulai bergelayut di tali, menimba air laut, hingga mengguyur, menyabuni, dan menggosok dinding kapal.

Uniknya, seakan iri dengan kapalnya, remaja itu pun sering memandikan dirinya sendiri dengan menguyurkan beberapa ember air ke tubuhnya. Peristiwa sepele, tapi unik. Saya merekamnya tidak lebih dari 5 menit.

Setelah saya membuat teks narasinya, mini dv yang berisi rekaman “Memandikan Kapal” tersebut saya kirim ke program I-Witness Metro TV via pos. Oh ya, saya tidak mengedit rekaman itu. Soal edting saya serahkan sepenuhnya ke pihak I-Witness Metro TV.

Setelah menunggu beberapa minggu, akhirnya video Memandikan Kapal tayang juga di program I-Witness Metro TV, kalau tidak salah tayang di bulan September 2008.

Video Memandikan Kapal ini adalah rekaman di mini dv pertama yang saya kirimkan ke stasiun TV dan sekaligus menjadi video pertama yang ditayangkan TV.

Sepuluh hari kemudian, Metro TV mentransfer uang ke rekening bank saya. Jumlahnya Rp500.000. Angka ini bagi orang lain mungkin kecil. Tapi bagi saya lebih dari lumayan.

Akhirnya saya tahu, Metro TV menghargai satu video berita sebesar Rp500.000. Artinya, jika video berita ditayangkan lebih dari satu, maka tinggal hitung saja: Rp500.000 kali video berita yang ditayangkan. Saya buka rahasia: dalam sebulan saya pernah mendapatkan Rp2 juta. Lumayan. Mau?

Rp200.000 dari Suara Merdeka

Teruslah menulis, meski hanya ada satu pembaca setia, yakni sang Redaktur media massa. Kirimi terus dia tulisan-tulisan kita. Tidak perlu takut salah dan ditolak. Hilangkan inferioritas atas tulisan anda. Semakin banyak mengirimkan artikel ke media massa (Koran, majalah, tabloid,dll) semakin besar peluang artikel anda dimuat media massa.

Saya telah membuktikan. Prinsip itu saya gunakan saat mengirim artikel ke Harian Suara Merdeka. Ternyata belum lebih dari 5 artikel, satu tulisan saya berhasil dimuat Suara Merdeka.

Senang? Pastinya. Seminggu kemudian Suara Merdeka mengirim uang  ke rekening bank saya. Honor tulisan itu Rp200.000. Lumayan, bisa untuk membayar SPP anak yang kini sedang belajar sambil bermain di TK A.

Mau mencoba?…Mulai sekarang ayo menulis! Pasti kalian bisa.

Contoh artikel saya yang dimuat Harian Suara Merdeka pada tanggal 27 Agustus 2009:

MENANTI MUSEUM BATIK LASEM
Oleh Awi Wiyono*


Pemerintah Kabupaten Rembang akan membangun museum batik di Lasem. Dana yang dianggarkan untuk merealisasikan museum batik ini sebesar Rp2miliar dan ditargetkan bisa beroperasi tahun depan.

Museum ini akan mengoleksi benda-benda kuno yang berkaitan dengan sejarah batik Lasem. Banyaknya bukti dan catatan sejarah batik tulis di Lasem, karena kota kecamatan yang berlokasi 12 Km arah Timur dari kota Rembang ini sejak dulu terkenal sebagai pusat industri batik tulis pesisiran.

Kehadiran Museum Batik Lasem layak dinanti, karena keberadaanya akan melengkapi museum-museum batik yang telah mapan, seperti Museum Batik Pekalongan, Museum Batik Danarhadi Solo, dan Museum Batik Joglo Cipto Wening Yogyakarta.

Masyarakat akan memperoleh banyak keuntungan dari keberadaan Museum Batik Lasem. Setidaknya masyarakat mendapat satu lembaga lagi yang memiliki banyak fungsi, diantaranya sebagai pusat dokumentasi, penelitian ilmiah, penyaluran ilmu, penikmatan karya seni, perkenalan kebudayaan antar daerah dan bangsa, obyek wisata, dan suaka budaya.

Namun masalahnya, masyarakat sedang kurang berminat mengunjungi museum. Citra kumuh museum menjadi salah satu penyebabnya. Menurut Arkeolog dari Universitas Gajah Mada (UGM) Daud Aris Tanudirjo, sejak otonomi daerah mayoritas dari 286 museum milik pemerintah provinsi dan kabupaten/kota banyak yang tidak terawat. Wajar bila masyarakat enggan berkunjung ke lembaga kebudayaan ini.

Galeri Modern

Pertanyaannya, apakah Museum Batik Lasem nanti bernasib sama menjadi bagian dari museum-museum kumuh tersebut? Semoga saja tidak. Untuk itu, Museum Batik Lasem harus hadir dalam format art gallery atau museum seni yang bercitra modern.

Museum Batik Lasem tentu harus memenuhi banyak syarat untuk menjadi galeri/museum seni yang bercitra modern. Mengacu pendapat mantan Dirjen Kebudayaan Edi Sedyawati, dasar untuk menjadi museum seni yang modern adalah memiliki banyak koleksi benda-benda antik yang berkualitas. Artinya, Museum Batik Lasem harus memiliki banyak koleksi batik kuno yang bernilai artistik tinggi.

Sebagai contoh, Museum Batik Danarhadi mengoleksi lebih dari 10.000 batik kuno berkualitas tinggi. Museum ini bisa memamerkan secara bergiliran ribuan koleksi batik antik, sehingga masyarakat tidak bosan mengunjunginya. Nah, kira-kira berapa koleksi batik antik yang akan dipamerkan di Museum Batik Lasem? Diharapkan bisa melebihi koleksi Museum Danarhadi.

Modernitas museum seni identik dengan efektifitas pelaksanaan tata kelolanya. Mengacu pendapat pakar Museologi dari Universitas Indonesia (UI) Prof. Dr Nurhadi Magetsati, museum modern harus dikelola oleh orang-orang yang handal dalam hal preservasi. Maksudnya, pengelola Museum Batik Lasem harus memiliki kompetensi dan kemampuan manajemen administrasi sehingga bisa bekerja efektif dalam pemeliharaan fisik dan administrasi dari berbagai koleksi benda-benda antik nya.

Menunjang tertib administratif itu, Museum Batik Lasem perlu menggunakan sistem teknologi informasi dan memasang peralatan modern, seperti kamera tersembunyi (CCTV) dan microradio untuk mengamankan koleksi batik. Hal ini penting karena belakangan ini banyak kasus pencurian benda-benda kuno berharga tinggi koleksi museum.

Museum Batik Lasem juga perlu tampil dalam format museum maya (cyber museum). Langkah ini untuk menyikapi fenomena keseharian masyarakat yang mulai akrab dengan teknologi informasi global dan media internet.

Direktur Rumah Seni Yaitu Semarang Tubagus P Svarajat pernah mengatakan, museum maya merupakan solusi dengan perspektif futurisik. Museum maya jika dirancang menarik, interaktif, dengan aplikasi antarmuka (interface) yang nyaman, bisa mendatangkan pengunjung dari mana saja, karena rentang jarak dan waktu bukan lagi menjadi kendala.

Meski demikian, Museum Batik Lasem tetap harus tampil konvesional. Kesemua unsur modernitas museum harus tetap dikemas di dalam gedung berarsitektur elegan yang berdiri di lokasi strategis, sehingga masyarakat menyukai dan mudah mengaksesnya.

Faktor terpenting, modernitas museum harus didukung oleh sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Pengelola Museum Batik Lasem harus memiliki keahlian dan kemampuan akademik. Mereka harus mampu membuat program-program kerja berkualitas yang mudah memikat banyak pengunjung.

Untuk meningkatkan kualitas calon pengelola Museum Batik Lasem, sekarang mereka seharusnya rajin mengasah kemampuan dengan cara belajar museologi di lembaga-lembaga terkait dan museum-museum batik yang sudah maju.

Ada baiknya mereka melakukan studi banding ke Museum Batik Pekalongan dan Museum Batik Danarhadi Solo. Tujuannya agar mendapatkan pengalaman praktis yang tepat untuk mengembangkan Museum Batik Lasem.

Tidak bermaksud mengabaikan karakter kedaerahan, pengelola Museum Batik Lasem boleh mengadopsi paradigma manajemen Museum Batik Pekalongan dan Museum Danarhadi Solo. Kedua museum batik ini layak menjadi acuan, karena keduanya dinilai berhasil menjadi museum batik yang mampu menjawab tantangan zaman.

Libatkan Publik

Menjadikan modern Museum Batik Lasem membutuhkan dana yang besar. Faktor dana sering membuat Pemkab Rembang kelabakan akibat keterbatasan anggaran. Untuk itu, Pemerintah perlu membuka diri dengan cara melibatkan publik dalam pengelolaan Museum Batik Lasem.

Pemerintah perlu menerapkan paradigma pengelolaan partisipatoris atau sistem konsorsium. Artinya, Pemerintah melibatkan masyarakat, terutama dari kalangan investor, dalam pengelolaan Museum Batik Lasem. Kolaborasi pemerintah dan swasta akan lebih efektif untuk mengembangkan Museum Batik Lasem.

Kehadiran investor memudahkan Museum Batik Lasem mendapatkan dana, sehingga memperlancar pelaksanaan semua program kerja. Akhirnya kerja pengelola museum tidak hanya berkutat pada fungsi pengoleksian benda-benda kuno, tetapi juga mensinergikan fungsi pendidikan, penelitian, pariwisata, hiburan, dan bisnis, sehingga memudahkan menarik perhatian masyarakat.

*Awi Wiyono, Penggiat Citizen Journalism

Artikel Kelima Dimuat Koran


Tulisan ini menjadi artikel kelimaku yang dimuat Koran. Honor masih Rp25.000. Cukup untuk bayar kos sebulan.

Jawa Pos, Maret 1993

MENGANTISIPASI BANGKITNYA PRIMORDIALISME

Oleh Awi Wiyono*

Tantangan yang akan dihadapi pembangunan jangka panjang tahap II akan semakin berat dan sangat kompleks. Kenyataan ini sesuai dengan sifat era modernisasi di segala bidang yang saat ini sedang dan akan terus berlangsung.

Penerapan strategi pembangunan tidak hanya tertumpu pada satu pokok bidang saja, tetapi meliputi segala aspek kehidupan, baik ekonomi, sosial, politik, budaya, dan hankam. Seluruh bidang ini relative minta waktu bersamaan dalam merealisasikannya.

Bidang-bidang itu merupakan simpul-simpul yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Sebab antara yang satu dengan yang lainnya akan saling mempengaruhi. Dan hasil paduan yang ideal adalah terciptanya stabilitas nasional.

Namun realita tidaklah sesederhana dan semudah itu. Sering kita dihadapkan pada ketimpangan-ketimpangan yang memunculkan berbagai konflik. Dan karena makronya permasalahan ini, saya akan membahas tulisan ini pada masalah sosial politik saja.

Pembangunan jangka panjang tahap II (PJPT II) yang segera kita masuki ini tidak bisa lepas dari belitan masalah klasik, tetapi selalu relevan dengan masalah-masalah pembangunan nasional, yakni masalah disparitas, kesenjangan sosial dalam kehidupan masyarakat.

Pemerataan masih menjadi persoalan krusial. Walaupun persoalan ini di era 1970-an juga ramai didiskusikan, namun wujud realisasinya belum menggembirakan. Pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya belum sesuai dengan konsep yang ada di GBHN.

Sebagai contoh, adanya produk domestik bruto Indonesia yang menumpuk pada segelintir orang. Sehingga tingginya angka GNP yang sering ditayangkan TVRI menjelang atau sesudah berita, belum bisa menjadi kartu as bagi terjaminnya kesejahteraan setiap lapisan masyarakat.

Dr Sri Bintang Pamungkas, dari Komisi APBN DPR Pusat mengungkapkan, 50 orang yang tergabung dalam Yayasan Prasetya Mulya menguasai perputaran barang dan jasa kurang lebih 83% dari total nilai APBN kita.

Jumlah omset yang menumpuk sekitar Rp52 triliun. Bila diasumsikan bahwa produk domestik bruto Indonesia sekitar Rp216 triliun, berarti 50 orang pengusaha besar ini menguasai pangsa nasional sebesar 26%. (Tempo No.3 Tahun XXIII, 20 Maret 1993).

Dengan berefrensi dari data ungkapan doctor lulusan Iowa State University USA itu, kita dengan gamblang mendapatkan gambaran betapa besar kemungkinan terjadinya disparitas sosial ekonomi masyarakat.

Kesenjangan sosial ini akan terjadi antara sekelompok kecil minoritas penguasa sumber ekonomi dan 27 juta rakyat yang kesejahteraannya sangat menggenaskan. Belum jika dikaitkan dengan berpuluh juta rakyat yang telah sedikit merasakan kesejahteraan, tetapi masih rawan akan kemiskinan. Diperlengkap dengan semakin membengkaknya pengangguran, baik yang kentara maupun tidak. Tentu hal ini menjadi dilema akut PJPT II.

Persoalannya, seperti peringatan Clifford Gerrtz melalui tulisannya: The Integrative Revolution: Primordial Sentimen and Civil Politics in The New State, bahwa ketimpangan yang serius yang dialami negara-negara baru, termasuk Indonesia, akan memperburuk proses integrasi bangsa.

Semakin parah bila ikatan-ikatan primordial bermunculan. Persoalan kesukuan, ras, bahasa, kedaerahan, agama, kebiasaan, atau ikatan-ikatan primordial lainnya akan menjadi biang keladi mandeknya pembangunan. Sebab, tidak mustahil kondisi itu akan menciptakan adanya jarak antar suku (ethnic distance) atau prasangka sosial (social prejudice). Padahal unsur komunikasi dalam proses pembangunan mutlak diperlukan.

Apakah dalam PJPT II nanti Indonesia akan terwabahi persoalan krusial ini? Jawabnya bisa ya, jika tidak sedini mungkin diantisipasi bangkitnya primordialisme. Sebab semakin modern sebuah Negara, semakin mempunyai kecenderungan membangkitkan primordialisme.

Dalam masyarakat modern, persoalan persaingan loyalitas adalah hal uang lumrah. Baik itu yang berdimensi horizontal (loyalitas kepada bangsa sebagai suatu kesatuan) maupun yang berdimensi vertical (kesetiaan terhadap kelas, partai, kelompok kerja profesi, dsb). Yang jelas, bila kedua dimensi loyalitas itu sampai pada taraf konflik akan ada konsekuensi yang tidak mengenakan, yaitu jika tidak terancamnya integrasi bangsa, paling buruk terjadi revolusi.

Karena itu, setelah mengetahui bahwa modernisasi lebih cenderung membangkitkan primordialisme, bangsa Indonesia yang hingga saat ini belum final dalam proses integrasi bangsa dan sekaligus disibukan oleh masalah internasionalisasi, harus menciptakan kiat untuk mengatasi dilema krusial ini.

Adapun salah satu alternative yang harus diambil adalah melakukan suatu perubahan dan pembaruan terhadap sumber-sumber kekuatan bangsa kita. Sumber kekuatan ini salah satunya adalah kualitas professional SDM harus benar-benar dijalankan.

Caranya, mempertahankan dan meningkatkan komitmen kultural kita untuk hidup sebagai bangsa yang utuh, yang berorientasi pada kemajuan bersama lewat proses berencana secara rasional, adil, dan beradab. Sehingga, dalam PJPT II ini Indonesia tetap jaya. Dan pemerataan bukanlah suatu yang utopia!

*Mhs Fisip UNS Surakarta

Artikel Keempat Dimuat Koran


Tulisan ini menjadi artikel keempatku yang dimuat di Koran. Honor belum naik, masih Rp25.000. Lumayan bisa buat beli buku.

Jawa Pos, 26 Oktober 1992

BAHASA INDONESIA MAKIN DINAMIS

Oleh Awi Wiyono*

Masalah pokok yang sering menjadi polemik dalam bahasa Indonesia adalah pengaruh atau masuknya kata-kata asing dan daerah. Kenyataan ini dapat disimak dari lomba kritik bahasa yang diselenggarakan oleh Jawa Pos.

Padahal, menurut Goreys Keraf, pakar bahasa dari UI, penyerapan bahasa tertentu, baik bahasa asing maupun daerah, tidak perlu lagi dicurigai. Kita hendaknya tidak terlalu mencemaskan adanya fenomena itu.

Proses penyerapan itu kita anggap sebagai upaya yang justru bernilai positif dan memperkaya kosa kata bahasa Indonesia. Asal proses pengambilan kata asing dan daerah harus disesuaikan dengan struktur bahasa Indonesia.

Saya setuju dengan pedapat itu. Sebab, sedikit banyak pendapat ini telah berhasil mengeliminasi perbedaan yang ada di dalam masyarakat. Selain itu, keberadaan bahasa Indonesia tidaklah statis, tetapi semakin dinamis.

Bahasa Indonesia akan selalu berkembang seiring dengan berputarnya waktu. Berarti sangat rentan dengan pengaruh-pengaruh yang ada.

Namun sayang, Gorys Keraf dalam tulisannya yang dimuat Jawa Pos. 16 Oktober 1992, itu hanya melihat perkembangan bahasa Indonesia dari perspektif kebahasaan. Sehingga wajar bila tidak menemui perbedaan pendapat yang cukup berarti.

Yang masih menjadi ganjalan di hati saya, benarkah pengaruh bahasa asing dan daerah tidak berdampak sosial politik? Pembahasan dari kacamata sosial politik inilah yang ingin saya utarakan.

Bahasa, sejauh sepengetahuan saya, senantiasa erat kaitannya dengan indoktrinasi. Artinya, dalam bahasa itu tidak bebas nilai. Melainkan mengandung nilai-nilai tertentu yang pengaruhnya dapat mengubah sikap, atau yang lebih jauh lagi menimbulkan mentalitas baru bagi pemakainya.

Maka tidaklah mengherankan bila orang yang berhasa Indonesia dengan gaya Jakarta, pola sikap, kepribadian, dan mentalitasnya seperti orang Jakarta. Demikian juga, bila nantinya pengaruh bahasa asing itu sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia, tidak mustahil budaya luar/asing yang sering tidak cocok dengan kepribadian kita akan hidup subur. Saya kira hal ini adalah sesuatu yang sangat membahayakan. Sebab bisa mengendorkan nasionalisme.

Fenomena itu didukung oleh pendapat Peitra Widadi, bahwa bahasa Indonesia gaya Jakarta itu telah merasuk jauh menjadi bahasa ibu. Kenyataan ini menunjukan bahwa tuntutan masyarakat untuk berbahasa Indonesia lebih maju.

Saya juga setuju dengan pendapat itu. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah latar belakang apa yang membuat bahasa Indonesia gaya Jakarta begitu digandrungi?

Pada dasarnya, bahasa itu juga mempunyai sertifikasi sosial. Artinya, ada tingkat tinggi rendahnya di mata masyarakat. Nah, semua itu bergantung pada siapa orang yang sering menggunakannya.

Kali ini bahasa Indonesia gaya Jakarta banyak dipakai oleh golongan kelas menengah ke atas. Atas dasar inilah, maka masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut ada keinginan untuk masuk ke dalam galongan kelas menengah atas tadi.

Singkatnya, berbahasa demi prestise masih sulit kita hilangkan. Lebih parah lagi, bila bahasa yang memiliki prestise tinggi telah bergeser ke model bahasa asing, misalnya bahasa Inggris yag telah menjadi bahasa kedua negeri ini.

Dengan kerangka acuan pernyataan di atas, tidak mustahil bahasa Indonesia akan bergoyang ke kiri dank ke kanan mengikuti nasionalisme yang semakin sulit kita deteksi juntrungnya. Sebab, nasionalisme sekarang itu berada pada dua tren yang saling bertentangan, yakni antara internasionalisme dan primordialisme.

Meski demikian, tentunya kita tidak ingin hal itu terjadi. Kita tidak menginginkan kecintaan dan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia luntur. Karena itulah, perlu adanya usaha untuk mengantisipasi adanya fenomena itu. Dan salah satunya adalah dengan meningkatkan nasionalisme kita.

Nasionalisme itu mengandung unsur pengertian intelektual, emosional, dan kehendak batin. Nasionalisme mengadung kesadaran jiwa. Kesadaran untuk mencintai, loyal, taat, rasa abdi kepada bangsa.

Wujud nyatanya adalah menguri-uri kebudayaan bangsa dan melestarikan cagar budaya, termasuk di dalamnya mencintai dan menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

*Mhs Fisip UNS Surakarta

Artikel Ketiga Dimuat Koran


Aku tidak ingat lagi, artikel ini yang keberapa yang aku tulis. Namun yang tidak bisa aku lupakan adalah tulisan di bawah ini menjadi artikel ketiga yang dimuat Koran. Honor masih Rp25.000. Kali ini bisa untuk traktir teman-teman makan bakso.

Jawa Pos, 2 September 1992

TVRI HARUS LEBIH FLEKSIBEL

Oleh Awi Wiyono*

Penampilan TVRI senantiasa rentan bagi tanggapan masyarakat, baik dalam bentuk kritik, saran,maupun pujian. Semuanya berdampak positif. Terlihat, dalam usianya yang ke-30 tahun, TVRI telah melangkah lebih maju dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Paket-paket siaran yang disajikan telah membuat pemirsa tak kuasa mengalihkan ke saluran atau programa televisi lain. TVRI telah menjadi media alternative bagi masyarakat di negeri tercinta ini.

Sesuatu yang patut disyukuri. Namun bersyukur bukan berarti berpuas diri. Tetapi harus berusaha memacu untuk tampil lebih baik lagi. Apabila menengok problema yang sedang dihadapi saat ini, TVRI tidak pantas bersantai-santai. Persaingan yang dibungkus dengan terminologi kemitraan dengan televisi semakin sengit. Terobosan-terobosan yang dilakukan oleh TV swasta bisa menjadi ancaman TVRI.

Saat ini paket siaran yang menjadi primadona TVRI juga telah diproduksi oleh TV swasta. Sinetron yang ditayangkan oleh SCTV, RCTI, dan TPI tidak kalah bagus dibandingkan dengan yang disajikan oleh TVRI. Ini baru dua TV swasta. Belum jika TV swasta-TV swasta di beberapa daerah terealisasi. Ditambah dengan semakin menjamurnya antenna parabola yang memungkinkan menangkap siaran dari Negara lain. Untuk menjaga eksistensi dirinya, TVRI harus mampu mengantisipasi fenomena ini.

Mencari dan membuat pemirsa untuk tidak meninggalkan program siaran yang disajikan adalah menjadi masalah pokok dalam dunia pertelevisian. Key succesfull factor-nya terdapat dalam kualitas paket siaran yang ditayangkan. Maka setiap TV harus meningkatkan kualitas program siarannya. Dan, syarat pokok untuk bisa meningkatkan kualitas acaranya itu tadi perlu dana. Faktor ini yag sering menjadi masalah.

Masalah dana bagi TV swasta tidak terlalu memusingkan. Sebagai lembaga yang berorientasi komersial, mereka cukup mengandalkan iklan-iklan yang masuk pada dirinya. Tetapi, bagi TVRI adalah masalah besar. Selain tidak menerima iklan, anggaran dari Negara masih dari mencukupi.

Payahnya lagi, dalam mengumpulkan pajak/iuran TV sering kali tidak beres. Ingat kasus PT Mekatama Raya. Akhirnya, penanganan dipegang sendiri oleh Yayasan TVRI. Ini pun masih timbul keraguan akan keberhasilannya.

Bercermin dari persoalan itu, ada benarnya uraian Bagong Suyanto. Ia mengatakan, posisi TVRI di simpang jalan, karena TVRI dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama membawa konskuensi yang kurang mengenakan. Yakni, TVRI tetap mempertahankan atau bahkan meningkat kualitas program siarannya seperti selama ini dilakukan atau menurunkan mutu siarannya yang berate menggunakan cara lama, yang secara umum didominasi dengan paket-paket monoton, sifatnya top down, dan hanya menjadi corong pemerintah (JP,26/08/92).

Kejelian dan kecermatan dalam melakukan pilihan sangat diperlukan. Karena keduanya membawa resiko, tidak ada jeleknya bila melakukan kalkulasi, yakni menghitung untung rugi jika memilih satu diantara dua tadi.

Menurut hemat penulis, dengan pertimbangan kondisi pertelevisian di Indonesia serta mengevaluasi keberhasilan TVRI dalam memikat pemirsa selama ini, TVRI akan lebih beruntung jika tetap mempertahankan atau bahkan meningkatkan kualitas acara-acaranya.

Sebab selama ini, meski diselimuti permasalahan dana yang tidak kunjung reda, ternyata TVRI masih mampu berprestasi. Karena itu, jika TVRI kembali pada cara lama, berarti menggali kuburannya sendiri, TVRI siap mati.

Tidak semudah yang kita bayangkan memang. Masih terlalu banyak faktor yang mempengaruhi eksistensi TV milik pemerintah ini. Salah satunya, seperti yang telah disinggung oleh Eduard Depari dan Effendi Gazali tentang status TVRI yang masih membingungkan.

Saat ini TVRI sebagai yayasan di samping sebagai direktorat. Menurut uraian pakar komunikasi ini, TVRI akan lebih professional jika dalam bentuk yayasan. Sebab, peluang pengoperasiannya lebih besar. Bisa mengelola sumber keuangannya sendiri, serta dapat memperhitungkan rekrutmen personalia yang pas (JP/27/08/92).

Bila kita intepretasikan pernyataan itu bahwa TVRI harus diberi kebebasan dalam mengelola paket-paket acaranya, manajemen, dan keuangannya. TVRI berubah mnjadi yayasan murni. Berarti juga menjadi lembaga milik swasta. Penulis kira, itu semua masih menjadi impian belaka.

*Mhs Fisip UNS Surakarta